Gubuk Berkah

Gubuk berkah

Hujan ini membuat banyak orang terpatri di tempatnya masing-masing. Begitu pula yang dirasakann Hilman pemuda yang sedang berteduh di gubuk yang jauh kemana-mana. Perjalanan dari kota menuju kampung sangat menyenangkan baginya. Terpatri sudah gambaran rumah dengan jelas. Siapapun akan merasakan hal yang sama.

Telepon berdering keras tetapi Hilman tidak mau mengangkat telepon tersebut, karena kejadian yang menimpa tahun lalu tepat di depan mata kepalanya sendiri. Ada anak kecil yang sedang asik bermain gadget di beranda rumahnya. Cuaca mendung dan petir bersebrangan tidak membuatnya takut. Kejadiannya begitu cepat. Petir menyambar dan membuat bocah itu gosong seketika. Orang-orang berhamburan dan histeris melihatnya. Kedua orangtuanya tak sadarkan diri, kembali tersadar dan pingsan kembali. Begitu terus-terusan sampai lebih dari sepuluh kali.
Kulitnya gosong persis seperti telur yang dimasak dan lupa untuk diangkat. Bocah yang sering bermain bersama Hilman dan sudah dianggap sebagai adiknya sendiri. Merasa runtuh  dan tak berdaya melihat kulit yang sudah mengeras. Dari setiap lubang ditubuhnya keluar darah yang membiru.
Tak sampai lima menit berselang, telepon itu kembali berdering. Hilman semakin was-was. Jutaan pertanyaan menghampiri dirinya. “siapa ini yah, ko tidak ada namanya” Hilman semakin kacau pikirannya. “apakah ini benar-benar penting, sehingga dia terus terusan menelepon?” pertanyaan itu mondar-mandir di kepala Hilman.
Petir semakin memperlihatkan taringnya, suara menggelegar seperti berada di dekat telinga. Gubuk yang terbuat dari bambu, dianyam menjadi dinding. Bahkan gubuk itu sudah miring dengan beberapa tumpuan sehingga itu menjadikannya kuat untuk beberapa waktu. Bolong bukan dari satu ruas saja. Tapi seperti ukiran jepara, hampir di tiap sudut.
“kenapa handphoneku harus berbunyi di saat kondisi yang seperti ini, aku semakin ketakutan dengan dering tersebut. Semakin aku angkat semakin tak tenang hidup, aku merasa bahwa ini tidaklah penting, tetapi hp ini terus saja berdering. Aku matikan takut sesuatu hal terjadi. Karena kepulanganku ini bukan untuk istirahat, melainkan untuk melihat kondisi ibu yang sedang sakit.” Kata itu terus berada di pikiran Hilman saat itu.
Hujan semakin deras seperti murka dan tak mau menghentikan kemarahannya. Angin yang tak nampakpun memukul gubuk itu sampai tumpuannya hampir terlepas. Hilman mencoba untuk keluar dari gubuk itu, tapi angin tidak memperbolehkan sama sekali. Bocor dimana mana, seolah bukan berteduh. Baju yang dikenakan hilman pun hampir basah sepenuhnya.
Adzan berkumandang dari kejauhan. Hilman memberanikan diri untuk keluar dari gubuk dan wudhu dari air hujan. Tidak ada tempat untuk menggelar sajadah, jangankan menggelar sajadah, tanah di dalam gubuk itu pun sudah basah sejak Hilman memasuki gubuk tersebut.
Pengajian dulu yang menguatkan keimanan hilman tumbuh dan berkembang sampai saati ini. Dia tidak pernah meninggalkan sholatnya, walaupun dengan keadaan yang tidak memungkinkan. Disudut gubuk itu terdapat beberapa papan yang menjulang keatas, dan ada juga bebatuan besar. Itu sudah cukup bagi hilman untuk menggelar sajadah yang selalu di bawanya. Batu ditempatkan di posisi ujung untuk topangan ke tanah, dan papan yang bersandar itu dijadikan panggung, sehingga dia bisa menunaikan ibadah dengan tidak berlantaikan tanah.
Doa yang dipanjatkan ditemani gelagar dari luar menjadi khidmat bagi Hilman. Sholat asar seperti sholat yang sangat spesial. Begitu dingin tapi tidak terasa dinginnya. Gubuk itu serasa di sulap seperti istana yang megah oleh sang pencipta. Begitu nyaman dan begitu dekat.
Tiba-tiba telepon itu berdering kembali, seperti isyarat yang tidak pernah berhenti. Hilman masih trauma dengan kejadian tempo lalu. Namun, kali ini Hilman memberanikan diri untuk menjawab telepn yang sudah berdering beberapa kali. Hilman membaca basmalah dengan raut muka yang pasrah kemudian memulai percakapannya.
“hallo, assalamualaikum” hilman membuka percakapannya
“waalaikum salam. Benar ini dengan hilman?” suara asing itu menjawab salamnya.
“iya benar,  ini dengan hilman. Apa ada yang bisa saya bantu pak.” Saut hilman dengan penuh keraguan.
“syukur alhamdulillah ternyata benar, jadi begini saya Dokter Asep yang merawat Ibu kamu. Saya mau memberikan informasi terhadap perkembangan kondisi ibu kamu” ujar dokter dengan nada lugu.
“oh iya dok, bagaimana dengan kondisi ibuku saat ini? apakah dia sudah membaik sejak di bawa ke rumah sakit?” hilman melanjutkan pertanyaan.
“jadi begini nak hilman, kondisi Ibu kamu sekarang sudah mulai membaik. Barusan Suster memanggil saya, Ibu kamu tiba-tiba tak sadarkan diri, kami bergegas membawanya ke ruang gawat darurat. Semua orang yang menunggu ibu kamu khawatir, tapi Allah berkata lain” belum selesai dokter menceritakan semuanya hilman memotong percakapan, “lalu bagaimana dok, sudahlah jangan bertele-tele seperti itu. Aku terjebak di gubuk reot gara-gara hujan besar ini. tolong Dok beri penjelasan langsung aja.” Hilman gusar dan tak sadarkan diri. Gubuk yang dia tumpangi untuk berteduh sudah sangat kotor karena dia terus-terusan mondar-mandir.
“Ya makanya nak Hilman coba tenang dulu” dokter yang berusaha menenangkan Hilman dengan nada santainya.
“Alhamdulillah Allah masih memberikan Ibu kamu rezeki usia, kami para dokter yang menangani dan para suster kaget dengan kejadian ini. Sejak saya mulai praktek sampai saat ini” dokter melanjutkan penjelasan.
“Sudahlah Dok saya mau langsung saja kan” hilman malah semakin geram dengan beberapa pernyataan dokter tersebut. Hujan diluar semakin deras dan petir serasa menghantui gubuk tersebut.
“Alhamdulillah ibu kamu sudah normal kembali, kami juga heran, ko bisa dalam keadaan kritis tiba tiba Ibu kamu membaik begitu cepat” Dokter Asep memaparkan.
“Allah Mahabaik, dan Allah Mahamenyembuhkan, Jadi kamu tidak usah khawatir dan segeralah berterima kasih kepada Sang Mahapencipta karena beliaulah Ibu kamu bisa sembuh seperti sekarang, ” pungkas Dokter itu dan menutup telepon.
Cuaca seketika berubah menjadi cerah di hati hilman. Hujan deras dengan petir yang tak henti- hentinya bergemuruh serasa tidak ada di sekitar Hilman.

Satu jam berlalu, Hilman masih saja sujud berterima kasih kepada Allah yang telah mengangkat penyakit Ibunya. Seketika itu hujan mulai mereda dan air dari lubang-lubang sudah mulai menetes pelan. Hilman meninggalkan gubuk tersebut dengan tersenyum lebar dan dzikir sepanjang pejalanan.upgrade-hati.blogspot.com
Previous
Next Post »

Sehat sebelum sakit

Hai sahabat, kali ini ane mau berbagi mengenai sehat sebelum sakit. Seringkali kita lupa dengan yang satu ini, ketika kita sedang...